Minggu, 30 Juli 2017

Reformasi Dan Kepatuhan Pajak



Pendapatan Negara 50% merupakan hasil dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak dari tahun ketahun mengalami fruktuasi, realisasi penerimaan pajak pada tahun 2015 sebesar 81,5  berikut realisasi penerimaan pajak dari tahun 1990 sampai dengan 2015. Data BI (Senin, 4 Januari 2016).

Dapat dilihat bahwa penerimaan pajak dari tahun 1990 hingga 2015 belum mencapai target yang diharapkan oleh pemerintah bahkan tahun 2015 penerimaan pajak menurun dari tahun 2011 yakni dari 91,7 persen menjadi 81,5 persen.
Upaya yang dilakukan Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan wajib pajak salah satunya dengan cara reformasi perpajakan. Menurut Anggito Ambiyu (2003:15) Secara garis besar tujuan dari reformasi administrasi perpajakan ini diharapkan dapat memenuhi tiga tujuan utama, yaitu :
1.            Tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi
2.            Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi
3.            Tercapainya produtivitas aparat perpajakan yang tinggi
Dirjen Pajak Dirjen Pajak telah mengemukakan bahwa sistem perpajakan membutuhkan penyempurnaan khususnya reformasi administrasi perpajakan. Secara garis besar, reformasi administrasi perpajakan ini diharapkan dapat memenuhi tiga tujuan utama, yaitu : Agar tercapainya tujuan-tujuan tersebut maka pemertintah melakukan beberapa strategi, diantaranya :
1.            Meningkatkan Kepatuhan
2.            Menangkal Ketidakpatuhan
3.            Meningkatkan Citra
4.            Mengembangkan administrasi modern
5.            Meningkatkan Produktifitas aparat
Reformasi perpajakan untuk penghasilan tidak kena pajak telah diperbarui pada tahun 2015 sesuai PMK 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tanggal 29 Juni 2015 yang menggantikan Peraturan Menteri Keuangan nomor 162/PMK.011/2012. Mengutip siaran pers Direktorat Jenderal Pajak tanggal 27 Juli 2015, konsekuensi yang akan timbul akibat diterapkannyaPMK 122/PMK.010/2015 adalah :
1.      Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru;
2.      PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015 yang telah dihitung, disetor dan dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP baru.
3.      Dalam hal terdapat kelebihan setor akibat pembetulan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015, dan agar manfaat kenaikan PTKP tersebut dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas maka pemberi kerja mengkompensasikan kelebihan setor tersebut terhadap PPh Pasal 21 Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015.
Pokok-pokok PMK122/PMK.010/2015 adalah:
1.      Besaran PTKP mulai berlaku sebagai dasar perhitungan PPh orang pribadi untuk tahun pajak 2015 sejak tanggal 1 januari 2015.
2.      Batasan PTKP 2015 untuk :
a)      Diri Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar Rp 36.000.000
b)      Tambahan bagi Wajib Pajak Kawin Rp 3.000.000;
c)      Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami Rp 36.000.000; dan
d)      Tambahan untuk setiap tanggungan Rp. 3.000.000

Tabel 1.1 PTKP Lama dan PTKP Terbaru

Keterangan
PTKP Lama
PTKP Baru

TK
Rp 24.300.000
Rp 36.000.000
K/0
Rp 26.325.000
Rp 39.000.000
K/1
Rp 28.350.000
Rp 42.000.000
K/2
Rp 30.375.000
Rp 45.000.000
K/3
Rp 32.400.000
Rp 48.000.000
Sumber : PMK122/PMK.010/2015
Selain reformasi perpajakan, sosialisasi perpajakan juga perlu dilakukan karena sosialisasi perpajakan merupakan kegiatan penyuluhan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak dengan tujuan memberikan informasi terbaru mengenai perpajakan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Seperti membuka acara atau penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang dilakukan kantor pelayanan pajak yang memberikan informasi pajak kepada wajib pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak tersebut, atau dengan cara tidak langsung seperti pemasangan spanduk dan kunjungan web-site yang disediakan oleh Direktorat Jendral Pajak .
Sosialisasi pajak ini memiliki andil yang cukup besar dalam penerimaan pajak serta mensukseskan sosialisasi pajak keseluruh wajib pajak. Berbagai media yang diberikan oleh fiskus seperti web-site Dirjen pajak, spanduk dan informasi langsung dari petugas terhadap wajib pajak tentang informasi terbaru mengenai pajak diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk patuh terhadap pajak dan membawa pesan moral terhadap pentingnya pajak bagi negara, sehingga masyarakat patuh akan membayar pajaknya dan akan meningkatkan penerimaan negara dari pajak.
Data dirjen pajak menunjukkan tingkat kepatuhan wajib pajak hingga tahun 2015 adalah Wajib Pajak (WP) yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencapai 30.044.103 WP, yang terdiri atas 2.472.632 WP Badan, 5.239.385 WP Orang Pribadi (OP) Non Karyawan, dan 22.332.086 WP OP Karyawan. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2013, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja mencapai 93,72 juta orang. Artinya baru sekitar 29,4% dari total jumlah Orang Pribadi Pekerja dan berpenghasilan di Indonesia yang mendaftarkan diri atau terdaftar sebagai WP.
Ditjen Pajak telah mengumpulkan penerimaan pajak lebih dari Rp 1.000 triliun hingga 25 Desember 2015. Pencapaian tersebut merupakan prestasi bagi Ditjen Pajak karena berhasil mencetak rekor pertama kali dalam sejarah Indonesia. Meski jumlah penduduk 250 juta orang, yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 28 juta orang atau sedikit di atas 10 persen. Yang menyampaikan SPT rutin hanya 10 juta WP dan yang membayar penuh sesuai ketentuan cuma 900 ribu orang. Itu WP Orang Pribadi.
Peneliti  Annisa Gama Widjaya (2008) melakukan penelitian tentang “Studi Evaluasi Kepatuhan  Wajib Pajak Sebelum dan Sesudah Reformasi Perpajakan dan Implikasinya Terhadap Penerimaan Pajak”. Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara besarnya Wajib Pajak terdaftar pada periode sebelum dan sesudah reformasi perpajakan tahun 2008. Hal ini berarti bahwa setelah adanya Reformasi Pajak Tahun 2008 besarnya Wajib Pajak Terdaftar pada KPP Pratama Kota Semarang meningkat.
Yulanda Atika dan Rika Kharina E (2013) “Analisis Sosialisasi Perpajakan Pada Wajib Pajak dalam upaya Peningkatan Penerimaan Perpajakan pada KPP Madya Palembang” Hasil Menunjukan bahwa terdapat Wajib Pajak yang kurang memahami materi-materi yang disampaikan oleh petugas pajak KPP Madya Palembang, penyebabnya dikarenakan penyuluh/pembicara yang kurang jelas dalam memaparkan materi. Sehingga petugas penyuluhan memberikan klinik pajak atau sosialisasi secara personal. Seharusnya KPP Madya lebih memperhatikan keterampilan dan kecakapan pembicara yang harus menguasai materi dan dapat menyampaikan materi tersebut dengan bahasa yang sesederhana mungkin sehingga informasi dapat diterima dengan baik, dan materi yang disampaikan jangan hanya pokok-pokok materi tapi juga penjelasan dan diusahakan si pembicara dapat menambahkan improvisasi.

Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan RI, yang menyatakan bahwa sumber penerimaan pajak Indonesia masih didominasi dari perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam. Oleh karena itu, kondisi perekonomian pada tahun 2015 dimana permintaan dan harga komoditas mengalami penurunan juga akan semakin memperberat beban Direktorat Jenderal Pajak dalam mengamankan target penerimaan pajak.


EmoticonEmoticon